Menantu Pahlawan Negara

Bab 522



Bab 522 Segelas Anggur Bernilai Dua Ratus Miliar

Frederick benar–benar tercengang.

Dia tidak mengerti mengapa Simon tiba–tiba melayangkan tamparan ke wajahnya.

Pria dan wanita muda lainnya dalam ruangan itu juga kebingungan melihat tindakan Simon.

“Eh bocah, kamu pikir kamu siapa? Berani–beraninya kamu memintaku untuk mempertimbangkanku?!”

Simon berkata dengan nada tajam, “Biarpun Miguel, ayahmu yang datang ke sini, dia juga nggak berani

membantah ucapanku! Kamu sama sekali bukan apa–apa bagiku!”

Suara teriakan penuh amarah Simon memenuhi seluruh ruangan.

Hari ini, suasana hatinya sangat buruk. Content © NôvelDrama.Org 2024.

Siapa sangka seorang bocah seperti Frederick saja malah berani berlagak hebat di hadapannya.

Tentu saja dia langsung melayangkan tamparan keras ke wajah bocah itu tanpa sungkan!

Dia segera bangkit dari lantai dan berkata, “Kak … Kak Simon, aku sudah bersalah! Aku nggak akan

mengulanginya lagi!”

Saat itu pula, aroma tidak sedap memenuhi seluruh ruangan tersebut.

Begitu aroma tidak sedap itu masuk ke dalam indra penciuman orang–orang lainnya di dalam ruangan,

mereka langsung melemparkan pandangan mereka ke arah Frederick.

Frederick yang tadi masih bersikap arogan dan memamerkan kehebatannya di hadapan Ardika, kini

malah sampai buang air kecil di celana saking ketakutannya!

Sorot mata jijik dan meremehkan sekarang tertuju pada Frederick.

Dia ingin sekali hilang ditelan bumi.

“Dasar bocah lemah! Berani–beraninya kamu berlagak hebat di hadapanku! Enyahlah sana!”

Simon langsung menendang Frederick sampai jatuh ke lantai.

Kemudian, dia memelototi semua pria dan wanita muda di dalam ruangan itu dengan tajam.

Seolah–olah melihat seekor harimau ganas yang hendak menerkam mereka, mereka semua langsung meringkuk di sofa dan gemetaran saking ketakutannya.

“Pria-pria dalam ruangan ini keluar sekarang juga, sedangkan para wanita tetap di sini untuk

menemaniku minum–minum!”

Saat ini, tatapan Simon hanya terpaku pada wanita–wanita muda di dalam ruangan ini.

“Kenapa kalian masih melamun di sana?! Cepat keluar sekarang juga!”

Anak buah Simon langsung memasang ekspresi ganas dan berteriak dengan keras untuk mengusir para

pria dalam ruangan ini.

Sambil menundukkan kepala mereka, para pria segera berdiri dan berjalan ke luar ruangan dengan

patuh.

“Bos, ada seorang gadis polos yang sangat cantik!”

Tepat pada saat ini, seorang preman mendapati Futari yang duduk diam di sofa tanpa bergerak sama sekali ketika mengusir para pria keluar dari ruangan ini.

Pencahayaan di dalam ruangan ini agak redup..

Simon berjalan mendekati Futari. Begitu melihat wajah cantik, serta kaki putih dan jenjang gadis itu, dia benar–benar sangat senang dan bersemangat.

“Haha! Gadis ini lumayan juga! Oke! Aku pilih kamu!”

Begitu mendengar ucapan Simon, ekspresi Futari langsung berubah menjadi pucat pasi seperti secarik

kertas putih.

Dia berkata dengan terisak dan terbata–bata, “Ka… Kakak, aku nggak bisa menemanimu lagi! Ibuku sudah menyuruhku pulang!”

Saat ini, hati Futari diselimuti oleh penyesalan.

Kalau tahu dirinya akan berakhir seperti ini, seharusnya dia ikut Ardika pulang dengan patuh.

“Ya ampun, ternyata kamu benar–benar seorang gadis yang penurut.”

Simon tertawa terbahak–bahak dan berkata, “Nggak masalah, kamu beri tahu ibumu saja, malam ini kamu nggak pulang lagi!”

“Hehe.”

Semua anak buah Simon juga tertawa penuh arti.

2/2.

Tatapan mesum mereka tertuju pada tubuh wanita–wanita lainnya.

Karena Simon sudah memilih wanita yang paling cantik, maka sisanya adalah jatah mereka.

“Ayo, kita pergi! Temani aku minum–minum!”

Simon berjalan menghampiri Futari, lalu mengulurkan lengannya dan hendak memeluk gadis polos itu.

Futari melemparkan sorot matanya ke arah Ardika yang dari tadi hanya duduk di sudut ruangan tanpa

mengucapkan sepatah kata pun.

Tidak tahu mengapa, dia melemparkan sorot mata meminta bantuan kepada Ardika secara refleks.

Ardika tidak mengecewakannya. Pria itu tiba–tiba angkat bicara. “Ingin meminta adik sepupuku untuk menemanimu minum–minum? Boleh saja, segelas bernilai 200 miliar.”

Begitu kata–kata itu keluar dari mulut Ardika, suasana di dalam ruang pribadi langsung hening seketika.

“Sudah gila uang?! Segelas bernilai 200 miliar?! Sialan! Kenapa kamu nggak pergi merampok saja?!”

Para preman langsung melontarkan makian.

Setelah mengetahui orang yang mengucapkan kata–kata itu adalah kakak ipar pecundang Futari, para pria dan wanita muda yang tergabung dalam klub penggemar Fiona pun diam–diam memutar mata

mereka.

“Dasar pecundang yang nggak bisa apa–apa selain cari mati!”

Frederick yang sudah tergeletak di lantai juga mencibir dalam hati.

Dia sangat berterima kasih karena Ardika sudah menarik perhatian semua orang, jadi dia tidak perlu merasa terlalu malu lagi.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.