Menantu Pahlawan Negara

Bab 439



Bab 439 Aku Tidak Menindas Lansia

“Kamu nggak akan bisa membunuhku.”

Ardika menempatkan kedua tangannya di punggungnya. Ucapan Titus sama sekali tidak menyebabkan

gejolak dalam hatinya.

Titus mendengus dan berkata, “Aku sudah berkali–kali mendengar ucapan seperti ini. Tapi, setiap kali orang yang mengucapkan kata–kata seperti ini pasti akan berakhir dengan kematian.”

Tiba–tiba, Ardika mengalihkan pandangannya ke arah kiri dan kanan tembok dan tampak mengerutkan

keningnya.

Pergerakan Titus hampir sama persis dengannya.

Ardika mengalihkan pandangannya kembali ke arah Titus dan berkata dengan acuh tak acuh, “Ada sepuluh orang di setiap sisi. Kalau begitu, bagaimana kalau kita bersaing siapa yang terlebih dahulu

menyingkirkan orang–orang itu? Kalau kamu kalah, kamu harus pergi sendiri dari sini!”

Dia tidak berniat membunuh Titus.

Orang di hadapannya ini memiliki kekuatan yang luar biasa, pasti merupakan orang kepercayaan Alden.

Karena dia memang tidak membunuh Alden, dia tidak perlu bermusuhan dengan orang kepercayaan Alden.

Tentu saja persyaratannya adalah orang itu harus tahu diri dan berinisiatif pergi sendiri.

Kalau tidak, biarpun Alden yang datang ke sini, Ardika juga akan membunuhnya!

“Aku sudah lama nggak bertemu dengan pemuda yang sangat arogan sepertimu!” Text property © Nôvel(D)ra/ma.Org.

Titus mendengus dingin dan berkata, “Aku beri kamu kesempatan untuk bergerak dulu.”

“Srek!”

Ardika merobek sepotong pakalannya, lalu menutupi matanya dengan potongan kain tersebut. “Aku nggak suka menindas lansia.”

Sorot mata penuh amarah tampak jelas di mata Titus. Dia menggertakkan giginya dan tertawa dingin.” Bagus, bagus, kamu memang hebat!”

Selesai berbicara, dia langsung bergerak dan menerjang ke arah sisi kiri tembok. Kecepatannya

bagaikan hantu yang sedang melayang di udara.

Ardika tersenyum, lalu menerjang ke sisi kanan tembok dari arah berlawanan.

Di sisi kiri tembok.

Pemimpin penembak jitu mengeluarkan pistolnya, menempatkan jarinya di pelatuk, lalu menutupi sudut. bibirnya dan berkata pada alat komunikasinya. “Tuan Rohan memberi perintah untuk membunuh dual orang yang berada di lapangan! Tembak sekarang juga!”

“Syuu… syuu… syuu….”

Sepuluh orang langsung menjulurkan kepala mereka dengan serempak ke luar tembok, lalu mengangkat pistol mereka dan membidik ke area di mana Titus dan Ardika berada.

“Eh? Di mana mereka?”

Pemimpin penembak jitu melontarkan satu kalimat itu dengan terkejut sekaligus kebingungan.

“Syuu!”

Pada saat bersamaan, seseorang tiba–tiba muncul dari dalam tembok.

Saat orang tersebut masih dalam posisi memanjat, dia sudah mengayunkan pedangnya. Dalam sekejap, kepala dan leher pemimpin penembak jitu itu langsung terpisah, lalu menggelinding ke tanah seperti

sebuah bola.

“Ah…. Ada hantu….”

Melihat pemandangan itu, penembak jitu lainnya terkejut bukan main. Mereka berteriak dengan histeris, mengangkat pistol mereka dan menembak dengan sembarangan.

“Dor…

dor….”

Tembakan–tembakan itu mengenai tubuh mayat pemimpin penembak jitu, sampai–sampai tubuhnya berlubang–lubang dan darahnya muncrat ke mana–mana.

Namun, tidak ada satu pun dari tembakan itu yang mengenai Titus.

Dia memanfaatkan tembok sebagai pelindungnya dan bergerak dengan lincah seperti seekor naga.

Setiap kali dia bergerak, ada seorang penembak jitu yang kehilangan kepalanya!

Seakan–akan sedang memotong sayur, dalam waktu kurang dari dua puluh detik saja, sepuluh orang penembak jitu itu sudah mati dibunuh olehnya.

Pada saat dia membunuh para penembak jitu itu, dia juga mendengar suara tembakan dari arah yang

lain.

Titus menyimpan kembali pedangnya dengan percaya diri. Namun, begitu dia menoleh untuk melihat sisi kanan tembok, sorot mata terkejut tampak jelas di matanya!

Di atas tembok, sudah digantung sepuluh mayat, setengah di bagian dalam tembok, setengah lagi di bagian luar tembok.

Saat dia mengalihkan pandangannya, dia baru menemukan bahwa tidak tahu sejak kapan, Ardika sudah

berdiri kembali di posisi mereka sebelumnya!

Ardika mengulurkan tangannya untuk melepaskan kain yang menutupi matanya, lalu mengalihkan pandangannya ke sisi kiri tembok dan menatap Titus yang masih tampak terkejut.

“Pergi sana.”

Titus menarik napas dalam–dalam.

Dia tahu dirinya sudah kalah, bahkan kalah telak!

Dua puluh tahun yang lalu, dia dikenal sebagai pembunuh nomor satu di ibu kota provinsi.

Setelah bersusah payah berlatih selama dua puluh tahun, baik kekuatan mentalnya maupun kekuatan fisiknya sudah mengalami peningkatan yang signifikan.

Namun, untuk pertama kalinya dia merasakan kegagalan saat berhadapan dengan pemuda di

hadapannya ini!

Kalau tadi dia langsung menyerang Ardika begitu saja, dia pasti akan berakhir seperti Vincent yang

dibunuhnya dalam hitungan detik!

Keterkejutan menyelimuti hatinya.

Titus bertanya, “Apa kamu tahu siapa yang sudah membunuh Kak Alden?”

Sekarang dua sudah yakin bukan Ardika yang telah membunuh Alden.

Seseorang dengan kekuatan luar biasa seperti Ardika sama sekali tidak perlu membunuh orang dengan

menggunakan racun!


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.