Bab 43
Bab 43
Bab 43
Mendengar nama Samara, Olivia juga berjalan ke depan Asta, bagaikan seekor anak ayam dia mengangguk kepalanya juga.
Walaupun mereka berkomunikasi dengan Samara secara online, tetapi akan lebih baik lagi kalau bisa bertatap muka?
Oliver melirik kearah Olivia, mereka setuju menganggukan kepala: “Tentu saja ingin!”
Setelah mengangguk kepala, Oliver malah mengernyitkan keningnya, matanya yang bening menatap dengan waspada ke arah Asta.
“Tidak benar ini, Ayah…..bukankah Anda tidak setuju saya berhubungan dengan Samara?” Berpikir sampai disini, kening Bocah makin berkerut: “Apakah Anda melihat saya begitu suka pada Samara, Anda sengaja ingin membohongi dan menipunya untuk datang, lalu menggertaknya?
“Nama Samara boleh kamu panggil sesuka hati?”
“Mengapa saya tidak boleh memanggil namanya? Samara setuju saya memanggilnya begitu.”
“Dia setuju, saya tidak setuju.”
“Ayah, Kamu…..”
Oliver sama sekali tidak menduga Asta akan mencegah dia mengejar wanita yang disukainya. dia merasa sangat kesal terhadap ayahnya.
Asta juga merasakan hal yang sama, jika bukan karena sudah dibuktikan Oliver adalah anak kandungnya, dia sangat ingin mengusir bocah itu dari kediaman Costan.
“Kamu sebenarnya ingin berjumpa dengannya atau tidak?”
Oliver dan Olivia saling bertukar pandang, tanpa berjanji sama sama menganggukkan kepala.
“Oliver, kamu lakukan ini dulu, kemudian saya akan meneleponnya……”
Setelah Oliver mendengar rencana Asta, belum pernah terjadi sebelumnya bocah itu ragu: **Ayah, saya….saya ini bukankah sedang membohongi Samara? Jika dia mengetahui, apakah dia akan merasa saya tidak lagi baik?”
“Kalau tidak mau ya sudah mata tajam Asta setengah terpejam, di matanya muncul sinar yang lembut
Oliver sedang bergulat antara manusia dan Tuhan, akhirnya tidak berhasil menahan godaan untuk berjumpa Samara, lalu dia buka mulutnya
“Ayah, baiklah kita laksanakan sesuai rencana membohongi Samara.”
Peter mengantar Samara dan Javier dengan aman sampai di rumah.
Setelah mandi dan bersih bersih seperti biasa Javier kembali ke kamarnya mengutak atik komputer, Samara juga kembali ke dalam kamarnya, melihat laporan keuangan yang dikirim oleh Timothy.
Dia sangat jarang berkunjung ke perusahaan Intermega, tetapi seluruh keputusan strategis perusahaan harus melewati persetujuannya baru bisa berjalan.
Setelah melihat sebentar, Samara melepaskan topeng wajahnya, bermaksud masuk ke kamar mandi dan berendam dengan santai.
Pada saat inilah, tiba tiba suara ponselnya berdering.
Dia melirik sejenak tampilan nama penelepon, nomornya berasal dari kediaman Costan, apakah Oliver yang meneleponnya?
“Halo…..”
“Ini saya, Asta.” Terdengar suara Pria yang penuh magnetis.
Samara terkejut: “Kamu?”
“Apa yang sedang kamu lakukan sekarang?”
“Sekarang saya….” Samara melirik sejenak topeng wajah di tangannya, lalu menjawab: “Siap siap mau mandi.”
“Bersama sayangmu?”
“Dia sudah selesai mandi, sebentar lagi kami akan tidur.”
Setelah menjawab Samara baru menyadari mengapa dia harus menjawab setiap pertanyaan Asta, apa hubungan dengannya?
Akan tetapi jawaban Samara seketika itu telah membangkitkan kegelisahan di hati Ista, mata tajamnya langsung berubah menjadi dingin: “Saya butuh kamu segera datang ke kediaman
**Asta, sekarang sudah hampir jam 10 malam!” Material © NôvelDrama.Org.
“Oliver sakit perut, tidak mau pergi berobat, dia ribu mau bertemu denganmu.” Asta menekan setiap perkataannya: “Saya tidak yakin apakah benar atau tidak, tetapi saya ingat siapa yang pernah mengatakan kepada saya harus mengunakan cara yang lebih lembut memperlakukan
anak anak. Segala hal yang berhubungan dengan kepentingan kedua anak, dia bersedia membantu saya.”
Orang yang dimaksud menggigit bibirnya, terpaku mati oleh perkataan Asta.
Walaupun dia merasa masalah Oliver yang sakit perut mungkin ada sedikit aneh, tetapi setelah dipikir jika benar benar sakit perut dan rela sakit di depan Asta.
Bukankah Tuan Kecil ini akan menunggunya dengan sia sia?
“Baik, saya akan kesana.”
Mata tajam Asta yang dingin membeku akhirnya ada tanda tanda meleleh, ujung mulutnya menyeringai : “Lima belas menit kemudian, saya tunggu di bawah rumahmu.”